Engkau, ya Allah, Engkau ya Allah, hanya Engkau ya Allah
Yang Maha Besar Allahu Akbar !!!
Sesudah ini semoga tak ada lagi
belalang yang mengaku elang
dengan beriman kepada Allah
tak kan muncul petualang yang mengaku pahlawan
Pada bait pertama puisi Zawawi tersebut terlihat jelas bagaimana sang penyair memaknai fenomena dehunamisasi yang terjadi pada saat pandemi Covid-19 melanda dan merenggut ribuan nyawa di negerinya.
Melalui gaya ungkapan yang khas penyair mendeskripsikan suasana kehidupan yang mencekam, yang ditandai dengan gambaran mengganasnya virus Corona.
Ancaman maut virus Corona itu menyasar siapa saja, tak pandang bulu, tak peduli apakah itu orang dari kalangan pejabat atau orang melarat.
Akibatnya, dunia menjadi gempar. Semua tatanan porak-poranda, tidak ada kepastian jaminan keselamatan, otak dan pikiran yang cemerlang sekalipun tidak dapat menolong keadaan.
Semua orang menjadi inferior, tak ada yang berani bersikap jumawa, ibarat seekor elang pun tak berani mengaku belalang.
Pada bait kedua sang penyair medeskripsikan potret ketidakmampuan manusia dalam menghadapi problem kehidupan yang paling mendasar, yakni sekadar untuk bisa bertahan hidup.
Digambarkannya, bagaimana orang-orang hebat kelas dunia mengalami depresi dan ketidakberdayaan.
Penyair menggunakan kata-kata simbolik seperti bermuka murung, tak berdarah, dan suaranya hambar, melemah nyaris tak terdengar.
Begitu pula, pada bait ketiga penyair juga seolah menyindir manusia sombong dengan mengatakan bahwa wabah pandemi Covid-19 yang mengerikan itu sesungguhnya hanyalah sezarrah debu dalam konstelasi kedahsyatan azab yang bisa diturunkan oleh Yang Maha Kuasa kepada kaum yang tidak beriman.
Ungkapan lugas sekaligus bergaya cadas pun digunakan oleh sang penyair. //Padahal, Tuhan cuma mengirim/ sezarrah debu tanpa suara yang terlepas dari ujung Alif-Nya/ yang meledak dalam bisu lalu terbang/ ke sana dan ke mana mana/ dunia seakan setengah porak poranda//