Inilah bangsa pemberani tanpa tandingan
Tak takut setan tak takut Tuhan
Bangsa ini hanya takut pada ketombe
Tak percaya ujaran Jawa hidup hanya mampir ngombe
Bangsa ini, bangsa apa?
Pada bait pertama puisi Gus Mus tersebut terlihat jelas bagaimana sikap kritis dan sinis sang penyair terhadap fenomena demoralisasi yang terjadi di negerinya.
Melalui gaya ungkapan yang khas penyair menyindir dengan nada cemooh atas maraknya praktik amoral.
Misalnya, digunakannya diksi dan ungkapan “pemberani” dan “tak takut” untuk merujuk mental aneh karena tidak hanya berani, tetapi justru bangga melakukan tindakan tidak terpuji seperti “ngemplang” (menghindar dari kewajiban membayar utang), apalagi hanya sekadar punya utang.
Begitu pula, pada bait kedua, ketiga, dan keempat penyair menambah panjang daftar praktik amoral yang telah disebutkan pada bait pertama.
Dengan nada semakin sinis penyair menyebutkan betapa menjijikkan atau mengerikan perilaku (mungkin oknum) bangsanya.
Bagaimana tidak menjijikkan kalau perilaku melanggar hukum seperti pembakaran hutan, praktik suap, pungutan liar atau upeti, korupsi, dan kolusi sudah dianggap biasa.
Dengan ungkapan yang memperlihatkan rasa heran yang tidak alang-kepalang pada bait selanjutnya sang penyair menyoal praktik demoralisasi sehingga kata dan ungkapan sarkasme digunakan, yakni //inilah bangsa pemberani tanpa tandingan/ tak takut setan tak takut Tuhan// bangsa ini hanya takut pada ketombe/ tak percaya ujaran Jawa: hidup hanya mampir ngombe (sangat sebentar, tidak lama)// bangsa ini bangsa apa//.
Amanat atau pesan moral yang tersurat maupun tersirat dalam puisi tersebut adalah bangsa yang baik adalah bangsa yang bermoral atau berakhlak mulia seperti berani dan sanggup meninggalkan semua tindakan tidak terpuji, selalu memenuhi kewajiban membayar utang, dan sebagainya.
Di samping itu, melalui puisi tersebut penyair menyampaikan harapan agar pembaca merasa malu berperilaku melanggar hukum seperti pembakaran hutan, praktik suap, pungutan liar atau upeti, korupsi, dan kolusi.
Melalui puisi tersebut, penyair berharap agar pembaca selalu takut berkawan setan dan takut terkena azab Tuhan, serta percaya bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar, tidak lama.
Dengan berolah sastra dan memahami amanat atau pesan moral puisi tersebut secara utuh kiranya seorang Hakim Agung akan teredukasi untuk senantiasa berperilaku taat azas, sehingga terhindar dari perbuatan yang tercela.