
Pada bait keempat penyair kemudian mengajak pembaca untuk berkontemplasi, lalu menyadari bahwa manifestasi sifat maha pengasih dan maha penyang sang Khalik itu senantiasa hadir di tengah kehidupan tepat di saat makhluk-Nya terkena musibah.
Buktinya, selalu ada relawan pada setiap terjadi musibah atau bencana. Pengakuan atas hadirnya kasih sayang sang Khalik kepada makhkuk cipataan-Nya itu terlihat kasat mata pada ungkapan //Tetapi, ya Allah/ kasih sayang-Mu masih tersalur/ lewat tindakan nyata para relawan/ yang berjuang di garis depan mengurus/ orang-orang yang serang corona/ mereka adalah Pahlawan Kemanusiaan//.
Sebelum mengakhiri puisinya, pada bait kelima, sang penyair menyatakan harapan agar manusia menyadari bahwa dalam hidup ini adakalanya semua makhluk hanya “diperjalankan”.
Manusia itu pada hakikatnya lemah, tak berdaya, jika tidak diberi kekuatan dan diberdayakan oleh-Nya.
Oleh sebab itu, sehebat apa pun manusia, niscaya tidak akan sanggup melawan takdir yang ditetapkan oleh sang Maha Kuasa.
Maka, jika sedang sukses, hendaknya manusia pandai bersyukur dan tetap rendah hati, tidak sombong. Jangan selalu mengklaim dan pamer dengan tindakan pongah tepuk dada disertai ucapan “inilah prestasi saya”. Dengan gaya sindiran yang khas sang penyair mengatakan //Saat puisi ini kutulis/ orang-orang hebat masih tiarap/ orang-orang besar dunia tampak seakan kerdil/ semua menjadi kecil/ bumi ini kecil/ bintang, bulan, dan matahari kecil/ alam semesta ini kecil/ Engkau, ya Allah, Engkau ya Allah, hanya Engkau ya Allah/ Yang Maha Besar/ Allahu Akbar !!!//.
Di bagian akhir puisi, pada bait keenam, sang penyair pun berharap atau berdoa agar manusia, terutama yang membaca puisinya, untuk senantiasa menjadi manusia normal yang pandai tahu diri, tidak lagi merasa paling hebat dengan memamerkan capaian-capain kinerjanya, dan sebagainya.
Sebaiknya, manusia itu sibuk memperbanyak amal ibadah yang diridhai-Nya, dan tidak pernah lupa untuk memperbaiki dan memperbagus keimanannya. Sudah saatnya semua meninggalkan perilaku munafik, seperti suka berlagak pemenang, padahal sesungguhnya pecundang.
Dengan gaya bahasanya yang khas sang penyair menyatakan //Sesudah ini semoga tak ada lagi/ belalang yang mengaku elang/ dengan beriman kepada Allah/ tak kan muncul petualang yang mengaku pahlawan//.
Adapun, terkait dengan kondisi carut-marut rusaknya nurani manusia seperti yang disuguhkan dalam puisi Zawawi tersebut, Gus Mus bahkan mengajak pembaca untuk bisa kembali membersamai alam. Hal ini tampak jelas dari penyebutan rumput (tanaman) dan burung (hewan) dalam puisi yang berjudul “Bagaimana”
Puisi yang muncul dari kalangan santri tersebut terasa begitu jelas muaranya. Ukhuwah menjadi sentuhan kehidupan. Manusia tak hanya harus mengaplikasikan ukhuwah kepada sesama manusia, melainkan juga perlu kepada hewan, alam semesta, dan tetumbuhan.
Sastra santri semacam itu menggugah rasa kultural. Jadi, sastra santri juga memberikan motivasi agar manusia senantiasa peduli pada hewan. Hewan seperti burung dianggap sebagai penanda kesejukan.
Burung berkicau, dianggap menyuarakan suasana aman, dan seterusnya.
Puisi santri tersebut lebih bersifat dialogis. Puisi dialogis berpotensi membuka ruang bagi pembaca untuk menyelam dalam bentangan puisi.
Penggunaan istilah ‘kalian’, jelas menunjukkan bahwa ada ukhuwah yang dibangun oleh sastrawan santri itu.
Puisi itu juga menyuarakan kritik kultural. Dikatakan demikian karena penyair lebih banyak mengungkap suasana, bagaimana nasib hewan yang seolah-olah teraniaya oleh perilaku manusia.