Apa yang ditawarkan penyair itu nuansanya ke botani, yaitu menirulah rumput. Rumput dianggap makhluk diam, yang sejatinya sering menyediakan kesejukan. Wallahu a’lam bishshawwab.
Dari analisis makna puisi-puisi di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa di balik karya sastra itu sebenarnya terkandung nilai positif yang berpotensi dapat dipakai untuk membangun jiwa yang kuat, berkehidupan yang normal, tidak terjebak demoralisasi dan dehumanisasi.
Ada komitmen penyair/ sastrawan atas praktik demoralisasi dan dehumanisasi. Implikasinya, setiap pelaku olah sastra, apalagi olah sastra profetik, sangat berpeluang teredukasi untuk mendukung perilaku bermoral dan berperikemanusiaan, kemudian bisa terhindar dan terselamatkan dari perbuatan yang tercela.
Di samping itu, berolah sastra profetik dapat dilakukan bukan sekadar untuk rekreasi, penyaluran hobi, atau hiburan belaka, tetapi bisa juga untuk autokritik, menertawakan diri sendiri (sang pembaca), karena menemukan sindiran, ejekan, atau cemoohan atas kekonyolan perilaku oknum tertentu yang boleh jadi pas atau cocok untuk pribadi sang pembaca. Wallahu a’lam bishshawwab.
D. Penutup
Berdasarkan berbagai uraian di bagian terdahulu kiranya dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut.
1. Fenomena absurd yang ditandai dengan berbagai praktik demoralisasi dan dehumanisasi oleh pihak yang seharusnya bermoral tinggi dan berperikemanusiaan tidak boleh dibiarkan terus terjadi jika bangsa ini tidak ingin mengalami kehancuran yang berawal dari kelemahan jiwa.
2. Kekuatan jiwa bangsa ini perlu dibangun melalui gerakan edukasi dalam berbagai bentuk olah raga dan olah jiwa bisa jaya jika para pemimpin dan rakyatnya memiliki kekuatan jiwa, berakhlak mulia, dan berketuhanan.
3. Tanda-tanda atau indikasi kehidupan suatu bangsa akan jatuh dan runtuh karena jiwa pemimpin dan rakyatnya rapuh, tidak berkhlak mulia, dan tidak berketuhanan saat ini sudah semakin terasa dan tampak nyata.
4. Dengan pemahaman bahwa berolah sastra Indonesia bisa berarti berusaha membangun kekuatan jiwa, akhlak mulia, dan berketuhanan, mungkin saja fenomena absurd demoralisasi dan dehumanisasi di berbagai instansi selama ini terjadi karena di situ kurang atau tidak pernah ada gerakan berolah sastra.
5. Saran kepada siapa pun kamu, saya, atau dia yang secara de facto dan de jure telah ditakdirkan hidup sebagai pemimpin atau rakyat jelata dan berbangsa Indonesia adalah jangan lupa berolah sastra. (*)