Jangan Lupa Berolah Sastra

Prof Muhammad Fuad saat membacakan orasi ilmiah dalam pengukuhan guru besar FKIP Unila November 2022. -Melida Rohlita/radarlampung.co.id-
Begitu pula, pada bait kedua, ketiga, dan keempat penyair menambah panjang daftar praktik amoral yang telah disebutkan pada bait pertama.
Dengan nada semakin sinis penyair menyebutkan betapa menjijikkan atau mengerikan perilaku (mungkin oknum) bangsanya.
Bagaimana tidak menjijikkan kalau perilaku melanggar hukum seperti pembakaran hutan, praktik suap, pungutan liar atau upeti, korupsi, dan kolusi sudah dianggap biasa.
Dengan ungkapan yang memperlihatkan rasa heran yang tidak alang-kepalang pada bait selanjutnya sang penyair menyoal praktik demoralisasi sehingga kata dan ungkapan sarkasme digunakan, yakni //inilah bangsa pemberani tanpa tandingan/ tak takut setan tak takut Tuhan// bangsa ini hanya takut pada ketombe/ tak percaya ujaran Jawa: hidup hanya mampir ngombe (sangat sebentar, tidak lama)// bangsa ini bangsa apa//.
Amanat atau pesan moral yang tersurat maupun tersirat dalam puisi tersebut adalah bangsa yang baik adalah bangsa yang bermoral atau berakhlak mulia seperti berani dan sanggup meninggalkan semua tindakan tidak terpuji, selalu memenuhi kewajiban membayar utang, dan sebagainya.
Di samping itu, melalui puisi tersebut penyair menyampaikan harapan agar pembaca merasa malu berperilaku melanggar hukum seperti pembakaran hutan, praktik suap, pungutan liar atau upeti, korupsi, dan kolusi.
Melalui puisi tersebut, penyair berharap agar pembaca selalu takut berkawan setan dan takut terkena azab Tuhan, serta percaya bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar, tidak lama.
Dengan berolah sastra dan memahami amanat atau pesan moral puisi tersebut secara utuh kiranya seorang Hakim Agung akan teredukasi untuk senantiasa berperilaku taat azas, sehingga terhindar dari perbuatan yang tercela.
Sebaliknya, mungkin saja karena sang oknum Hakim Agung tidak pernah dan tidak mau berolah sastra atas puisi (sejenis puisi Gus Mus tersebut), tentunya tidak mengherankan jika niscaya yang bersangkutan tidak mengetahui amanat dan pesan moralnya sehingga nekad berperilaku melanggar hukum, lalu ditangkap KPK. Wallahu a’lam bishshawwab.
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan terkait fenomena absurd dehumanisasi pada fenomena Sambo (lokus Magelang-Jakarta), sang oknum polisi menembak polisi tersebut kiranya bisa dilakukan melalui praktik pembacaan atau telaah puisi D. Zawawi Imron “Tiarap” di bawah ini.
TIARAP
(karya D. Zawawi Imron)
Ketika Allah menunjukkan kebesaran-Nya
dengan sebutir Corona
yang menyerang tak pilih bulu, tak pilih pejabat atau orang melarat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: