Pengenaan tarif pajak dapat menurunkan pendapatan wajib pajak sehingga berdapampak pada menurunnya output.
Di lain pihak pengenaan pajak dapat peningkatan pendapatan pemerintah, mendorong belanja belanja pemerintah meningkat dan akan meningkatkan output.
Kedua instrumen fiskal tersebut secara langsung dapat mengubah output, tetapi besaran perubahan tidak selalu sama karena adanya efek pengganda (multiplier effect).
Ukuran angka pengganda pajak (tax multiplier) ditentukan oleh kesanggupan masyarakat untuk mengonsumsi (willingness to consume) yang diukur dengan marginal propensity to consume (MPC).
Perubahan real output akibat perubahan pajak, digunakan tax multiplier yang dihitung dengan mengalikan perubahan pajak (∆T) dengan tax multiplier effect [ −???????????? (1−????????????) ].
Peningkatan pajak sebesar ∆T secara langsung akan mengurangi output sebesar ????????∗???????????? (1−????????????) . Di lain pihak, peningkatan pajak menambah sumber pendapatan pemerintah sekaligus sebagai tambahan belanja pemerintah (G).
Perubahan output akibat perubahan belanja pemerintah diukur dengan government spending multiplier yang dihitung, mengalikan perubahan belanja pemerintah (∆G) dengan government spending multiplier effect (1/(1−MPC)).
Sehingga peningkatan belanja pemerintah ∆G secara langsung akan meningkatkan output sebesar ∆G/(1−MPC). Peningkatan belanja pemerintah diikuti dengan meningkatkan pendapatan individual penduduk, menambah pengeluaran untuk konsumsi sekaligus merupakan sinyal berkurangnya kemiskinan.
Peningkatan pajak secara tidak langsung berdampak mengurangi kemiskinan melalui government spending multiplier apabila peningkatan pajak secara efektif meningkatkan konsumsi penduduk miskin.
Kebijakan ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah daerah akan berdampak positif pada perekonomian, baik dari sisi Permintaan Agregat (Aggregate Demand) ataupun Penawaran Agregat (Aggregate Supply).
Asumsi belanja pemerintah semakin selektif dan digunakan untuk membiayai program-program sektoral yang potensial, Sehingga produksi sektoral juga meningkat dan pada akhirnya total output daerah (Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)) juga meningkat.
Pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber pendanaan yang cukup kuat. UU No 33 Tahun 2004, pendapatan daerah bersumber dari PAD, dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain. PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan PAD lain-lain yang sah.
Peningkatan pajak pusat seperti (PPh, PBB dan BPHTB) juga akan berdampak terhadap meningkatkan pendapatan fiskal daerah dalam bentuk dana bagi hasil pajak sekaligus meningkatkan kapasitas fiskal daerah.
Ketergantungan DOB terhadap dana transfer dari pusat masih cukup tinggi walaupun desentralisasi fiskal sudah berusia 20 tahun. Secara rata-rata nasional, ketergantungan DOB baik provinsi maupun kabupaten/kota masih tinggi yaitu sebesar 80,1 persen terhadap dana transfer dan Dana Desa.
Sementara kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya sebesar 12,87 persen (Nugraha, 2019). Pada awalnya desentralisasi fiskal di Indonesia diharapkan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah (Haryanto, 2015).
Pemanfaatan dana transfer belum mampu menciptakan variabel pengunkit sehingga kemandirian fiskal belum tercapai. Peningkatan dana transfer dan Dana Desa belum diikuti dengan peningkatan kualitas outcome.