Pohon S. grandiflora memiliki akar mengembang dan sangat termodulasi dengan jaringan aerenchyma. Daun (Gambar 2) panjangnya mencapai 30 cm termasuk tangkai daun dengan panjang 7-15 mm dan anak daun 20-50, berpasangan berseberangan pada daun yang sama, lonjong hingga elips, 12-44 mm x 5-15 mm. Bunganya (Gambar 3a) berwarna putih, kekuningan, merah jambu atau merah dengan panjang kelopak 15-22 mm, kelopak bunga tunas muda berdekatan, membelah atau pecah saat bunga mekar.
Bagian basal pada buah (Gambar 3b) berukuran hingga 10,5 x 8 cm dan sebagian besar panjangnya melengkung, ovari dan gundul. Polongnya linier sampai agak melengkung, 20-60 x 6-9 mm, biji 15-50, jarak septa 7,5-10 mm, gundul, menggantung vertikal dan tidak pecah.
Biji berwarna coklat tua dan subreniform, 6,5 x 5 mm x 2,5-3 mm. Berat biji adalah 17.000-30.000 biji/kg (Heering & Gutteridge, 1992).
3.2 Efek Farmakologi
Seluruh bagian S. grandiflora termasuk dari akar, kulit kayu, getah, daun, bunga, dan buah digunakan secara tradisional sebagai obat di Asia Tenggara dan India.
Bagian akarnya digunakan untuk meredakan peradangan dan demam. Kulit kayu digunakan sebagai zat untuk menyembuhkan cacar.
Di Filipina, rebusan dari kulit kayu yang dihancurkan digunakan untuk pengobatan bisul di mulut dan saluran pencernaan.
Di Jawa, tabib setempat menggunakan kulit kayu yang dihancurkan untuk pengobatan sariawan dan gangguan perut anak-anak, dan di Kamboja, kulit batang yang ditumbuk digunakan untuk mengobati kudis.
Air perasan daunnya digunakan untuk mengobati cacingan, empedu, demam, asam urat, gatal-gatal dan kusta.
Di Malaysia, daun yang dihancurkan digunakan untuk menyembuhkan keseleo dan memar. Sedangkan di Yunani, daunnya digunakan untuk pengobatan serangan epilepsi dan buahnya digunakan untuk pengobatan anemia, bronkitis, demam dan tumor.
Jus daun dan bunga adalah obat populer untuk radang selaput lendir hidung dan sakit kepala, hidung tersumbat atau hidung tersumbat. Jus bunga diteteskan ke mata untuk memperbaiki penglihatan redup (Wagh et al., 2009).
Beberapa penelitian telah dilakukan pada ekstrak beberapa jaringan S. grandiflora untuk memberikan validasi ilmiah pemanfaatan tradisionalnya. Ekstrak kasar S. grandiflora memiliki sifat hipotensi, edema dan diuretic (Fojas et al., 1982), sedangkan ekstrak bunga S. grandiflora memberikan aktivitas analgesik dan antipiretik (Tamboli et al., 2000), serta pada uji in vivo dan in vitro dapat berfungsi sebagai kandidat obat antikanker yang potensial.
Ekstrak etanol kulit kayu S. grandiflora menunjukkan aktivitas antiulcer, anti-inflamasi, dan antijamur (Serti et al., 2001; Goun et al., 2003). Daun S. grandiflora menunjukkan spektrum yang luas sebagai antikonvulsan dan aktivitas ansiolitik, bersifat hepatotoksisitas (Kasture et al., 2002; Pari & Uma, 2003), mencegah kerusakan oksidatif pada paru-paru, hati dan ginjal dan membalikkan kerusakan oksidatif (Ramesh & Begum, 2006; 2007; 2010).
Penelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa jus daun S. grandiflora menunjukkan aktivitas antiurolitik yang signifikan terhadap batu jenis kalsium oksalat dan bersifat antioksidan (Doddola et al., 2008). Selain itu, ekstrak n-heksana biji S. grandiflora menunjukkan aktivitas antioksidan, anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik (Shareef et al., 2012).
3.3 Studi Fitokimia Sebelumnya pada S. grandiflora
Penyelidikan fitokimia paling awal pada S. grandiflora dimulai pada 1960-an. Senyawa alkohol sederhana pertama, α-5-metil-5-pentakosanol atau grandiflorol (1), diisolasi dari daun S. grandiflora (Tiwari & Bajpai, 1964). Kemudian, Srivastava et al. (1968) dan Pollard et al. (2011) melaporkan galactomannan (2) yang diperoleh dari biji S. grandiflora. Das dan Tripathi (1998) berhasil mengisolasi glikosida flavonol pertama dari kulit batang S. grandiflora, diidentifikasi sebagai 4'-O-methyl-8 prenylkaempferol-3-O-(α-L-rhamnosyl-(1→6)-β-D-galactopyranoside)-7-O-β-D-galactopyranoside (3).